Pendahuluan: Antara Impian dan Rutinitas
Banyak orang bermimpi menulis buku-tentang pengalaman hidup, kisah inspiratif, atau sekadar curahan hati yang ingin diabadikan. Tapi di sisi lain, realitas kehidupan modern menuntut begitu banyak waktu dan energi. Dari pagi hingga malam, pekerjaan seolah tak pernah habis. Lembur, rapat, laporan, urusan rumah, dan tanggung jawab keluarga bercampur menjadi satu. Di tengah semua itu, menulis terasa seperti kemewahan yang sulit dijangkau.
Namun, ada satu fakta yang sering terlupakan: sebagian besar penulis besar justru menulis di sela-sela kesibukan. Mereka bukan orang yang punya waktu luang tanpa batas, melainkan orang biasa yang memilih untuk menyisihkan waktu, bukan menunggu waktu. Kuncinya bukan pada seberapa banyak waktu yang tersedia, tapi bagaimana kita memanfaatkan waktu yang ada.
Menulis buku di tengah kesibukan bukanlah hal mustahil. Ia hanya butuh strategi, komitmen, dan sedikit keberanian untuk menolak alasan. Artikel ini akan membahas bagaimana seseorang dengan rutinitas padat tetap bisa menulis dan menyelesaikan buku. Bukan dengan teori rumit, tapi dengan cara-cara sederhana yang bisa dilakukan siapa saja-bahkan oleh mereka yang sibuk bekerja delapan jam sehari.
1. Menulis Bukan Butuh Waktu Luang, Tapi Keputusan
Banyak orang berkata, “Saya akan mulai menulis kalau sudah punya waktu.” Tapi waktu luang itu jarang datang. Selalu ada hal lain yang terasa lebih mendesak: pekerjaan yang menumpuk, anak yang harus dijemput, atau bahkan keinginan untuk sekadar beristirahat. Akhirnya, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan naskah yang diimpikan tak pernah dimulai.
Sebenarnya, masalahnya bukan pada waktu, melainkan pada prioritas. Menulis tidak menunggu waktu luang, tapi membutuhkan keputusan. Ketika seseorang benar-benar memutuskan untuk menulis, ia akan menemukan celah di antara kesibukan. Sama seperti orang yang berkomitmen untuk olahraga meski bekerja penuh waktu-karena sudah menjadi bagian dari hidupnya, bukan sekadar tambahan ketika sempat.
Jika menulis masih dianggap sebagai kegiatan “tambahan”, ia akan terus kalah oleh rutinitas. Tapi ketika menulis menjadi keputusan yang disadari-bahwa buku itu penting, bahwa ide itu perlu dituangkan-maka jadwal kerja pun bisa menyesuaikan. Menulis buku bukan perkara punya waktu, tapi memberi waktu. Dan sering kali, keputusan sederhana untuk memulai jauh lebih kuat daripada menunggu waktu sempurna yang tak akan pernah datang.
2. Menemukan Waktu Kecil di Antara Waktu Besar
Banyak orang berpikir menulis buku butuh waktu panjang: dua jam, tiga jam, atau bahkan satu hari penuh. Padahal, sebagian besar buku lahir dari potongan waktu kecil yang dikumpulkan setiap hari.Bayangkan jika setiap pagi sebelum berangkat kerja kita menulis hanya 20 menit. Dalam seminggu, itu berarti lebih dari dua jam. Dalam sebulan, hampir sembilan jam. Dalam setahun, lebih dari seratus jam. Dengan konsistensi seperti itu, bahkan di tengah pekerjaan yang padat, satu buku bisa selesai tanpa terasa.
Kuncinya ada pada cara memanfaatkan waktu-waktu kecil: menunggu rapat dimulai, duduk di transportasi umum, atau sebelum tidur malam. Saat orang lain sibuk menggulir media sosial, penulis yang disiplin memanfaatkan momen itu untuk menulis beberapa paragraf.
Menulis bukan tentang banyaknya waktu dalam satu hari, tapi seberapa sering kita menggunakannya. Waktu 15 menit yang dipakai setiap hari lebih berharga daripada 3 jam yang ditunggu tapi tak pernah datang. Dalam dunia kerja yang sibuk, kemampuan menemukan “celah waktu” menjadi keahlian tersendiri.
Penulis produktif tahu bahwa mereka tak bisa menunggu momen besar. Mereka menciptakan momen kecil-dan dari potongan-potongan waktu itulah, satu naskah lahir.
3. Membangun Ritual Kecil Sebagai Pemicu Fokus
Bagi orang sibuk, tantangan utama bukan sekadar menemukan waktu, tapi menemukan fokus. Setelah seharian bekerja, otak terasa lelah. Duduk menatap layar kosong saja sudah cukup melelahkan. Karena itu, dibutuhkan “ritual kecil” yang membantu otak beralih dari mode kerja ke mode menulis.
Ritual ini bisa sederhana. Misalnya, membuat secangkir kopi sebelum menulis, memutar musik tertentu, atau menulis di tempat yang sama setiap hari. Rutinitas kecil seperti ini memberi sinyal pada otak bahwa “sekarang saatnya menulis”. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini membangun asosiasi kuat: begitu ritual dimulai, otak otomatis siap untuk fokus.
Ritual juga berfungsi sebagai jembatan antara dunia kerja dan dunia pribadi. Di tengah kesibukan, menulis bisa menjadi momen pribadi yang menenangkan, semacam “ruang sunyi” untuk diri sendiri. Bahkan jika hanya berlangsung 15 menit, waktu itu bisa menjadi bentuk meditasi.
Jadi, bukan hanya soal manajemen waktu, tapi juga manajemen suasana. Ketika tubuh dan pikiran disiapkan dengan cara yang sama setiap hari, menulis menjadi lebih ringan. Tidak lagi terasa sebagai beban tambahan, tapi sebagai kebiasaan yang ditunggu-tunggu.
4. Menurunkan Ekspektasi, Menaikkan Konsistensi
Banyak calon penulis gagal bukan karena tidak punya ide, tapi karena berharap terlalu tinggi di awal. Mereka ingin setiap kalimat sempurna, setiap bab langsung rapi. Akibatnya, tekanan muncul sejak halaman pertama. Padahal, tidak ada penulis yang langsung menghasilkan tulisan bagus pada percobaan pertama.
Kunci utama menulis di tengah kesibukan adalah menurunkan ekspektasi. Tidak perlu menulis 10 halaman sehari-cukup satu paragraf. Tidak perlu berpikir tentang penerbit dulu, cukup menulis untuk diri sendiri. Dengan ekspektasi yang realistis, beban mental berkurang, dan proses menjadi lebih menyenangkan.
Konsistensi jauh lebih berharga daripada produktivitas sesaat. Satu halaman setiap hari berarti 365 halaman dalam setahun-lebih dari cukup untuk satu buku. Tapi jika menunggu waktu sempurna untuk menulis banyak sekaligus, kemungkinan besar tidak akan ada satu pun yang selesai.
Dengan menurunkan ekspektasi, kita membuka ruang untuk menikmati proses. Dan ketika proses itu menyenangkan, konsistensi menjadi lebih mudah dijaga. Karena sejatinya, buku besar lahir dari kebiasaan kecil yang dilakukan terus-menerus.
5. Mengubah Cara Pandang Terhadap Menulis
Sebagian orang menganggap menulis buku sebagai tugas besar yang menakutkan-seolah hanya bisa dilakukan oleh orang yang sangat berbakat atau punya banyak waktu luang. Cara pandang ini membuat menulis terasa berat sejak awal.Padahal, menulis tidak harus dimulai dari proyek besar. Ia bisa dimulai dari catatan harian, pengalaman pribadi, atau ide sederhana. Setiap tulisan kecil bisa menjadi bahan untuk sesuatu yang lebih besar nanti.
Menulis juga bisa dilihat sebagai proses berpikir. Saat menulis, kita sebenarnya sedang mengatur ulang isi kepala, menyusun ide, dan memahami diri sendiri. Jadi, walau tidak langsung menghasilkan buku, kebiasaan menulis membantu melatih fokus dan refleksi diri-dua hal yang sangat berguna di dunia kerja.
Ketika cara pandang terhadap menulis berubah, tekanan ikut hilang. Tidak lagi perlu menunggu “inspirasi besar”. Kita bisa mulai dari hal kecil: menulis pengalaman sehari-hari di kantor, cerita perjalanan, atau refleksi tentang pekerjaan. Dari situ, ide besar biasanya tumbuh pelan-pelan, hingga suatu hari kita sadar, bahan untuk satu buku ternyata sudah ada di tangan kita sendiri.
6. Mengatur Lingkungan dan Menghilangkan Gangguan
Kesibukan kerja membuat waktu menulis sangat terbatas. Karena itu, setiap menit menjadi berharga. Agar waktu yang singkat itu tidak terbuang sia-sia, penting untuk mengatur lingkungan menulis agar bebas gangguan.Gangguan bisa datang dari mana saja: notifikasi ponsel, pesan masuk, bahkan suara bising di sekitar. Menulis memerlukan fokus penuh, jadi ciptakan ruang khusus-meski kecil-yang bisa menjadi “zona menulis”.
Beberapa orang memilih menulis pagi-pagi sebelum pekerjaan dimulai, karena suasana masih tenang. Ada juga yang menulis di kafe dengan headphone. Apa pun pilihannya, prinsipnya sama: jauhkan diri dari distraksi.
Selain lingkungan fisik, lingkungan digital juga perlu dijaga. Matikan notifikasi, batasi media sosial, atau gunakan aplikasi yang memblokir gangguan sementara. Dengan begitu, waktu menulis yang sedikit bisa benar-benar digunakan secara maksimal.
Mengatur lingkungan bukan hal sepele. Dalam banyak kasus, keberhasilan menyelesaikan buku bukan ditentukan oleh seberapa jenius seseorang, tapi seberapa efektif ia mengatur dirinya agar tetap fokus di tengah kesibukan.
7. Memanfaatkan Akhir Pekan Secara Cerdas
Bagi pekerja penuh waktu, akhir pekan sering dianggap waktu untuk beristirahat total. Tapi jika ingin menulis buku, sebagian kecil dari waktu itu bisa dimanfaatkan untuk kemajuan yang signifikan.Tidak harus menulis seharian. Cukup sisihkan satu atau dua jam untuk meninjau kembali apa yang ditulis sepanjang minggu, merapikan ide, atau menambahkan satu bab baru. Dengan cara ini, akhir pekan tidak terasa terbebani, tapi tetap produktif.
Yang penting adalah menjaga keseimbangan. Jangan mengorbankan seluruh waktu istirahat, karena kelelahan justru akan mematikan semangat. Buatlah jadwal menulis ringan di akhir pekan-misalnya Sabtu pagi setelah sarapan, atau Minggu sore sebelum persiapan kerja.
Banyak penulis yang menyelesaikan buku pertama mereka dengan pola ini. Mereka tidak menunggu cuti panjang atau waktu senggang, tapi memanfaatkan dua jam setiap akhir pekan dengan disiplin. Dalam beberapa bulan, bab demi bab terkumpul, dan tanpa sadar, naskah pun selesai.
Akhir pekan bisa menjadi ruang refleksi yang berharga. Saat suasana lebih tenang, pikiran lebih jernih, dan ide mengalir lebih mudah. Dua jam yang digunakan dengan niat, sering kali lebih berarti daripada dua belas jam yang terbuang tanpa arah.
8. Menulis di Tengah Pekerjaan Adalah Latihan Prioritas
Menulis buku sambil bekerja penuh waktu adalah latihan prioritas. Ia memaksa kita belajar menata hidup, menentukan apa yang penting dan apa yang bisa ditunda.Ketika seseorang berkomitmen menulis, ia belajar menolak hal-hal yang tidak perlu. Mungkin harus mengurangi waktu menonton, menggulir media sosial, atau nongkrong tanpa arah. Tapi pengorbanan kecil itu berbuah besar-karena dari situlah waktu untuk menulis tercipta.
Menulis juga mengajarkan disiplin. Saat kita bisa menulis di tengah kesibukan, berarti kita sudah melatih kemampuan mengatur energi dan fokus. Dua hal ini, menariknya, justru meningkatkan performa kerja juga. Banyak orang mengira menulis akan “mengganggu pekerjaan”, padahal justru sebaliknya: menulis membantu berpikir lebih jernih dan sistematis.
Dengan cara ini, menulis bukan hanya soal menghasilkan buku, tapi juga soal mengasah karakter. Orang yang mampu menyelesaikan buku di tengah kesibukan biasanya juga lebih tangguh menghadapi tekanan, karena sudah terbiasa menuntaskan sesuatu dengan disiplin.
9. Jangan Takut Naskah Buruk-Yang Penting Selesai
Ketakutan terbesar banyak calon penulis adalah naskahnya tidak bagus. Karena takut jelek, mereka menunda menulis, menunggu “waktu ideal” untuk bisa menulis lebih baik. Tapi waktu ideal itu tidak pernah datang.Kebenarannya sederhana: semua draf pertama memang buruk. Tidak ada penulis yang langsung menghasilkan tulisan hebat tanpa proses revisi. Yang membuat buku selesai bukanlah kualitas awal tulisan, tapi keberanian untuk menulis sampai akhir.
Jadi, jangan terlalu khawatir soal bagus atau tidaknya tulisan. Fokus saja untuk menyelesaikan. Begitu naskah selesai, selalu ada waktu untuk memperbaiki. Tapi jika tidak pernah selesai, tak ada yang bisa diperbaiki.
Menulis buku di tengah kesibukan berarti menerima bahwa draf pertama mungkin berantakan. Tapi itu tidak apa-apa. Justru keberanian untuk menulis di tengah keterbatasan waktu itulah yang akan membentuk keteguhan mental seorang penulis.
Buku yang selesai, walau sederhana, tetap lebih berharga daripada ide sempurna yang tak pernah diwujudkan.
10. Menulis Sebagai Cara Menemukan Diri Sendiri
Pada akhirnya, menulis bukan hanya tentang menghasilkan buku, tapi tentang mengenal diri. Di tengah rutinitas kerja yang sibuk, menulis bisa menjadi cara untuk berhenti sejenak, menatap ke dalam diri sendiri, dan memahami apa yang sebenarnya kita rasakan.Menulis memberi ruang untuk refleksi. Ia membantu kita memahami kenapa kita melakukan sesuatu, apa yang kita perjuangkan, dan apa yang kita hindari. Dalam dunia kerja yang serba cepat, menulis bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap kebisingan.
Banyak orang yang menemukan makna baru dalam hidupnya justru saat menulis. Di antara kalimat dan paragraf, mereka menemukan kejelasan tentang arah hidup. Buku yang lahir dari proses seperti itu biasanya tidak hanya bermanfaat bagi penulisnya, tapi juga bagi orang lain yang membacanya.
Menulis di tengah kesibukan bukan hanya soal mengatur waktu, tapi soal memberi ruang bagi diri sendiri. Karena di balik semua kesibukan, setiap orang membutuhkan momen untuk menuliskan kisahnya sendiri-agar hidupnya tidak hanya dihabiskan untuk bekerja, tapi juga untuk mengabadikan jejak.
Kesimpulan: Selesai di Tengah Kesibukan, Bukan Mustahil
Menulis buku di tengah kesibukan kerja memang menantang. Tapi bukan berarti mustahil. Semua bergantung pada keputusan, disiplin, dan kemauan untuk bertahan di tengah keterbatasan.Tidak ada waktu ideal untuk menulis, yang ada hanya waktu yang disisihkan. Tidak perlu menunggu libur panjang atau suasana tenang. Cukup menulis sedikit demi sedikit, setiap hari, dengan konsistensi.
Setiap paragraf yang ditulis adalah langkah kecil menuju impian. Dan ketika langkah itu terus dilakukan, satu hari nanti buku itu akan selesai-bukan karena kita punya banyak waktu, tapi karena kita memilih untuk menulis di tengah kesibukan.
Karena sejatinya, buku bukan hanya kumpulan kata. Ia adalah bukti bahwa di tengah hiruk-pikuk dunia, seseorang pernah berhenti sejenak, duduk, dan menuliskan bagian kecil dari hidupnya.




